CATATAN KEHIDUPAN SANTRI
Belajar di pesantren memang menyenangkan, hal itulah yang terkesan
dalam kehidupan sehari-hari para santri di Pondok Pesantren .
Menyenangkan bukan berarti makanan harus enak-enak, tidurnya di kasur
empuk atau semua keinginan tercukupi. Kalau yang dikatakan hidup
menyenangkan ala anak-anak orang kaya dan orang-orang glamour memang
jauh dari keadaan para santri Jumput. Karena mereka hanya anak para
petani, Pesantren Jumput pun merupakan pesantren ndeso, jauh dari
keramaian kota dan hiburan. Para santrinya pun sangat sederhana
kehidupannya, makan seadanya, tidur beralas tikar agar tidak kedinginan
karena hidup di dalam saung bilik yang berlantai bambu sebut saja Kobong
, pakaian mereka merk pasar kaki lima.
Tapi tidak ada raut kesedihan atas kehidupan sederhana mereka, dengan
senyum mereka lewati hari-hari dipesantren. Rutinitas mereka hanya
belajar, saat pagi tiba kegiatan mereka mulai dengan memasak, jam 07.30
WIB para santri mengaji karena di psantren salaf tidak ada madrasah atau
sekolah seperti halnya pesantren moderen , pukul 12.00 sholat dhuhur
berjam’ah dan memulai pengajian kembalisampai pukul 13.30, pukul 13.30
setelah itu santri istirahat 15.00 sholat Ashar berjamaah, pukul 18.00
jama’ah sholat Magrib, malamnya habis magrib istirahat sejenak sampai
sholat Isya tiba, setelah itu jama’ah sholat Isya dan dan persiapan
untuk mengikuti pengajian sampai pukul 21.00 setelah itulah santri bisa
istirahat tenang ada yang masak ada pula yang langsung tidur.
jam 03.00 saat fajar tiba mereka bangun sholat malam, jam 04.00 jama’ah sholat subuh dan memulai pengajian tadarus Al-Qur’an begitulah keseharian santri dan seterunya
jam 03.00 saat fajar tiba mereka bangun sholat malam, jam 04.00 jama’ah sholat subuh dan memulai pengajian tadarus Al-Qur’an begitulah keseharian santri dan seterunya
Bagi orang yang mengamati mungkin melelahkan runitas mereka, waktu
luang pagi hari saat belum dapat giliran belajar komputer, selain hari
jum’at, sabtu dan minggu karena ada belajar Paket B dan C. Saat waktu
luang mereka gunakan untuk mencuci pakaian, bersih-bersih dan belajar.
Rutinitas itu mereka lakukan dengan ikhlas, prinsip mereka “mumpung
masih ada waktu untuk belajar maka harus digunakan sebaik-baiknya”.
Jumlah santri mukim sejumlah 30 santri saja putra dari mana mereka
berasal, nama ayah ibunya, hari ulang tahun, kesukaanya apa, bahkan
siapa yang tidurnya mendekur dapat mereka hapal.
Yang menyenangkan dari kehidupan para santri adalah sikap
kekeluargaan mereka. Teman se-pesantren bagi mareka adalah keluarga
besar. Karena keadaan mereka jauh dari rumah maka teman yang saat ini
paling dekat. Jika ada yang sakit maka teman sekamar yang mengurusnya,
saat kehabisan bekal pinjam teman yang punya, saat ada makanan mereka
maka bersama-sama, saat ada masalah mereka saling curhat untuk saling
memberi solusi.
Sikap kekeluargaan mereka perlihatkan juga saat memasak, karena
dapurnya sempit maka memasak mereka gilir, sebagaian santri harus
memasakkan sebagaian temannya dengan digilir secara berputar. Makannya
pun berjama’ah, ada yang pakai piring nampan (wadahnya lebar) kemudian
diberi nasi, sayur, lauk kemudian para santri makan bersama-sama dengan
berkeliling mengitari wadah. Satu anggota masak biasanya 6 orang, ini
yang mereka sebut “satu piring bersama” dan “sehidup sepenanggungan”
Para santri hidup secara damai dan rukun walau mereka berasal dari
berbagai macam karakter, keluarga dan sosial ekonomi yang berbeda.
Memang dalam hidup bersosial kadang ada masalah, tetapi mereka dapat
mengatasinya dengan kekeluargaan. Tidak ada ceritanya di pesantren ini
diantara para santri yang kontra dengan temannya sampai timbul
hiruk-pikuk. Tidak sungkan-sungkan antara teman yang satu dengan lainnya
saling memberi nasehat dan saling mengingatkan. Keluarga dalam
pandangan mereka harus rukun dan damai.
Di pesantren mereka belajar hidup mandiri dan bermasyarakat. Mandiri,
karena mereka harus mengelola kehidupan sehari-hari sendiri. Mereka
harus pintar-pintar mengatur waktu jadwal belajar, mencuci baju sendiri,
mengelola keuangan kiriman dari rumah dengan hati-hati. Bermasyarakat,
karena mereka hidup dengan banyak orang, belajar memahami dan mengerti
orang lain, tidak egois dan membantu teman.
pengasuh pesantren juga sering memberi wejangan setelah sholat berjama’ah selesai ataupun saat mengaji bagaimana cara bergaul sesuai ajaran agama. Mbah Tamam pernah mewanti-wanti para santri bahwa dalam pergaulan orang harus saling mengerti satu sama lainnya, saling tolong menolong, bahkan kadang harus mengalah jika hal itu lebih baik, karena mengalah demi kerukunan bukan berarti kalah tetapi harus memikirkan kemaslahatan yang lebih besar. Santri tidak boleh punya sikap iri dengan kepemilikan temannya, karena iri akan menjadi sikap tidak mnyukai temannya, bisa jadi hasut bahkan dendam jika muncul masalah, iri merupakan benih perpacahan.
pengasuh pesantren juga sering memberi wejangan setelah sholat berjama’ah selesai ataupun saat mengaji bagaimana cara bergaul sesuai ajaran agama. Mbah Tamam pernah mewanti-wanti para santri bahwa dalam pergaulan orang harus saling mengerti satu sama lainnya, saling tolong menolong, bahkan kadang harus mengalah jika hal itu lebih baik, karena mengalah demi kerukunan bukan berarti kalah tetapi harus memikirkan kemaslahatan yang lebih besar. Santri tidak boleh punya sikap iri dengan kepemilikan temannya, karena iri akan menjadi sikap tidak mnyukai temannya, bisa jadi hasut bahkan dendam jika muncul masalah, iri merupakan benih perpacahan.
Jika dilihat cara hidup anak-anak muda zaman sekarang para santri
Pesantren salafi ini memang “tidak gaul”, tidak ada yang menyemir rambut
warna-warni, tidak ada yang bertato, tidak ada yang nongkrong
dijalanan, tidak ada yang ke diskotik atau mondar-mandir ke mall, tidak
hapal lagu-lagu terpopuler serta nama-nama artis dalam negeri dan luar
negeri. Mereka hidup penuh peraturan, dikurung oleh pagar tidak bisa
bebas keluar masuk, tidak pakai HP, tidak boleh merokok, model
pakaiannya kemeja, sarung, kalau punya celana jeans pun merk pasar kaki
lima.
Tapi, sungguh hidup ini mereka jalani dengan sangat menyenangkan,
hidup dengan penuh kekeluargaan, rukun, damai, santun dan selalu
menjalankan perintah agama. Suasana seperti ini tidak kita temukan
diluar pesantren. Di sekolah formal keakraban mungkin hanya kita dapat
dengan beberapa teman, tidak ada nasehat keagamaan yang mengikat. Di
pesantren jelas bagi yang melanggar ajaran agama akan diberi sanksi,
dari peringatan, ta’zir, pemanggilan orang tua, jika berat bisa
dikeluarkan. Pesantren memang harapan negara ini, saat akhlak para
remaja mulai pudar karena arus modernisasi dan globalisasi, maka
pesantren dengan susah payah berusaha membangun akhlak para generasi.
0 komentar:
Posting Komentar